Orang yang membunuh Umar adalah seorang Majusi bernama Abdul Mughirah
yang biasa dipanggil Abu Lu’lu’ah. Disebutkan bahwa ia membunuh Umar
karena ia pernah datang mengadu kepada Khalifah Umar tentang berat dan
banyaknya kharaj (pajak) yang harus dia keluarkan, tetapi Khalifah Umar
menjawab, “Kharajmu tidak terlalu banyak.” Dia kemudian pergi sambil
menggerutu, “Keadilannya men¬jangkau semua orang kecuali aku.” Ia lalu
berjanji akan membunuhnya. Dipersiapkanlah sebuah pisau belati yang
telah
diasah dan diolesi dengan racun -orang ini
adalah ahli berbagai kerajinan- lalu disimpan di salah satu sudut
masjid. Tatkala Khalifah Umar berangkat ke masjid seperti biasanya
menunaikan shalat subuh, langsung saja ia menyerang. Dia menikamnya
dengan tiga tikaman dan berhasil merobohkannya. Kemudian setiap orang
yang berusaha mengepung dirinya diserangnya pula. Sampai ada salah
seorang yang berhasil menjaringkan kain kepadanya. Setelah melihat
bahwa dirinya terikat dan tidak bisa ber¬kutik, dia membunuh dirinya
dengan pisau belati yang dibawanya.
Itulah berita yang disebutkan
para perawi tentang pembunuhan Umar Radhiyallahu ‘anhu. Barangkali di
balik peristiwa pembunuhan ini terdapat konspirasi yang dirancang oleh
banyak pihak di antaranya orang-orang Yahudi, Majusi, dan Zindiq.
Sangat tidak mungkin per¬buatan kriminal ini dilakukan semata-mata
karena kekecewaan pribadi karena banyaknya kharoj yang harus
dikeluarkannya. Wallahu a’lam.
Ketika diberitahukan bahwa pembunuhnya
adalah Abu Lu’lu’ah, Khalifah Umar berkata, “Segala puji bagi Allah
yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Muslim.”
Umar kemudian berwasiat kepada putranya, “Wahai Abdullah, periksalah
utang-¬utangku!”
Setelah dihitung, ternyata Umar mempunyai utang
sejumlah 86.000 dirham. Khalifah Umar lalu berkata, “Jika harta
keluarga Umar sudah mencukupi, bayarlah dari harta mereka. Jika tidak
mencukupi, pintalah kepada bani Addi. Jika harta mereka juga belum
mencukupi, mintalah kepada Quraisy.” Selanjutnya Umar berkata kepada
anaknya, “Pergilah menemui Ummul Mu’minin Aisyah! Katakan bahwa Umar
meminta izin untuk dikubur berdampingan dengan kedua sahabatnya
(maksudnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu).” Mendengar permintaan ini, Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab,
“Sebetulnya tempat itu kuinginkan untuk diriku sendiri, tetapi biarlah
sekarang kuberikan kepadanya.” Setelah hal ini disampaikan kepadanya,
Umar langsung memuji Allah.
Umar Menunjuk Salah Seorang Dari Ahli Syura
Sebagian
sahabat berkata kepada Umar, “Tunjuklah orang yang engkau pandang
berhak menggantikanmu.” Umar kemudian menjadi¬kan urusan ini
sepeninggalnya sebagai hal yang disyurakan antara enam orang, yaitu
Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu
‘anhum. Umar berkeberatan menunjuk salah seorang di antara mereka secara
tegas. Selanjutnya Umar berkata, “Saya tidak menanggung urusan mereka
semasa hidup ataupun sesudah mati. Jika Allah menghendaki kebaikan buat
kalian, Allah akan menghimpun urusan kalian pada orang yang terbaik di
antara mereka sebagaimana Allah telah menghimpun kalian pada orang
yang terbaik di antara kalian sesudah Nabi kalian.”
Dengan demikian,
Umar merupakan orang pertama yang membentuk “tim” dari para sahabat
dan dinamakan dengan Ahli Syura kemudian menyerahkan urusan khalifah
sepeninggalnya kepadanya. Dengan demikian, mereka ini merupakan
“Lembaga Politik” tertinggi dalam pemerintahan.
Bagaimana berlangsungnya pemilihan Utsman?
Ahli
Syura yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut mengadakan pertemuan di
salah satu rumah guna membahas masalah ini. Sementara itu,Thalhah
berdiri di pintu rumah guna menjaga dan melarang orang-¬orang untuk
memasuki pertemuan tersebut. Dalam syura diperoleh kesepakatan bahwa
tiga orang di antara mereka telah menyerahkan masalah khalifah kepada
tiga orang lainnnya. Zubair menyerahkannya kepada Ali, Sa’ad
menyerahkannya kepada Abdurrahman bin Auf, sedangkan Thalhah memberikan
haknya kepada Utsman bin Affan.
Abdurrahman bin Auf berkata kepada
Utsman dan Ali, “Siapa¬kah di antara kalian berdua yang melepaskan diri
dari perkara ini maka kepadanya akan kami serahkan!” Keduanya diam
tidak mem¬berikan jawaban. Abdurrahman lalu berkata, “Sesungguhnya, aku
meninggalkan hakku terhadap perkara ini dan merupakan kewajibanku
kepada Allah dan Islam untuk berusaha guna mengangkat orang yang paling
berhak di antara kalian berdua.” Keduanya menjawab, “Ya.” Abdurrahman
bin Auf kemudian berbicara kepada masing-masing dari keduanya sambil
menyebutkan keutamaan yang ada pada keduanya. Ia lalu mengambil janji
dan sumpah, “Bagi siapa yang diangkat, ia harus berlaku adil dan siapa
yang dipimpin harus mendengar dan taat.” Keduanya menjawab, “Ya.”
Mereka kemudian berpisah.
Setelah itu, Abdurrahman bin Auf meminta
pendapat dari khalayak ramai tentang kedua orang (calon khalifah) ini,
sebagaimana ia juga meminta pandangan dari para tokoh dan pimpinan
mereka, baik secara bersamaan maupun terpisah, dua-dua,
sendiri-sendiri, atau berkelompok, secara sembunyi ataupun
terang-terangan. Bahkan kepada para wanita yang bercadar, anak-anak di
berbagai perkantoran, orang-orang Arab Badui, dan para pendatang yang
datang ke Madinah. Proses (hearing) ini dilakukannya selama tiga hari
tiga malam sampai akhirnya didapat kebulatan suara yang menghendaki
agar Utsman bin Affan didahulukan kecuali dua orang, yaitu Ammar bin
Yassir dan Miqdad, yang menghendaki agar Ali didahulukan, tetapi
kemudian kedua orang ini bergabung kepada pendapat mayoritas.
Pada
hari keempat, Abdurahman bin Auf mengadakan perte¬muan dengan Ali dan
Utsman di rumah anak saudara perempuannya, Musawwir bin Makhramah.
Dalam pertemuan ini, Abdurahman bin Auf menjelaskan, “Setelah
kutanyakan pada orang-orang tentang Anda berdua, kudapati tidak seorang
pun di antara mereka yang menolak Anda berdua.” Abdurahman bin Auf
kemudian keluar bersama keduanya menuju masjid dan mengundang
orang-orang Anshar dan Muhajirin sampai mereka berdesakan di masjid.
Abdurahman bin Auf naik ke mimbar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam lalu menyam¬paikan pidato dan berdo’a panjang sekali. Dalam
pidatonya itu, ia mengatakan,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah
menanyakan kepada kalian secara tersembunyi dan terang-terangan tentang
orang yang paling kalian percaya dapat mengemban amanat (khalifah),
lalu aku tidak melihat kalian menghendaki selain dari kedua orang ini,
Ali atau Utsman. Karenanya, berdirilah dan kema¬rilah, wahai Ali.”
Setelah
Ali berdiri dan mendekatinya, Abdurrahman bin Auf menjabat tangan Ali
seraya berkata, “Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas
dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?” Ali
menjawab, “Tidak, tetapi sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu.”
Abdurrahman
kemudian melepas tangannya lalu berkata, “Berdirilah dan kemarilah,
wahai Utsman. Ia kemudian menjabat tangan Utsman seraya berkata,
“Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah,
Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?” Utsman menjawab, “Ya.”
Abdurrahman
kemudian mengangkat kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan
tangannya di tangan Utsman seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku
telah melepaskan amanat yang terpikulkan di atas tengkukku dan telah
kuserahkan ke atas tengkuk Utsman.” Orang-orang pun kemudian berdesakan
membaiat Utsman di bawah mimbar. Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang
yang pertama membaiatnya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ali
merupakan orang yang terakhir membaiatnya.
Beberapa Ibrah
Pertama,
telah kita ketahui bahwa tindakan pertama yang dila¬kukan oleh Umar
Radhiyallahu ‘anhu adalah memecat Khalid bin Walid. Kebanyakan penulis
kontemporer telah melakukan kesalahan dalam menanggapi masalah
pemecatan ini. Mereka menjadikannya bahan untuk menggugat kedudukan
Khalid, padahal penafsiran dari pemecatan ini dapat dilihat dengan jelas
dalam tindakan Umar sendiri dalam ucapan yang diucapkan tentang Khalid
dan dalam pujian yang disampaikannya kepada Khalid. Seperti telah kami
sebutkan, Umar berkata kepada Khalid,
“Demi Allah, wahai Khalid,
sesungguhnya engkau sangat ku¬muliakan dan sangat kucintai.” Umar
kemudian menulis surat ke berbagai wilayah, menjelaskan sebab pemecatan
Khalid bin Walid, “Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena
kebencian dan tiduk pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecat¬nya
karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan
se¬rangan-serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya. ”
Ketika
diberi tahu tentang sakitnya Khalid, Khalifah Umar yang waktu itu
berada di suatu tempat langsung pergi ke tempat Khalid di Madinah
dengan menempuh perjalanan selama semalam, padahal biasanya ditempuh
selama tiga hari. Ketika Umar tiba di tempat tersebut, Khalid sudah
wafat, lalu Umar mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,”
dengan penuh kesedihan. Umar kemudian duduk di pintu rumah Khalid sampai
selesai pengurusan jenazahnya. Ketika kematiannya ditangisi oleh
sejumlah wanita lalu dikatakan kepada Umar, “Tidakkah engkau
mendengarnya? Mengapa engkau tidak melarang mereka?” Umar menjawab,
“Tidaklah apa-apa wanita-wanita Quraisy menangisi Abu Sulaiman selama
tidak meratapi dan bukan karena kecemasan.”
Ketika mengantar
jenazahnya, Umar melihat seorang wanita Muslimah menangisinya. Umar
lalu bertanya, “Siapa orang ini?” Dika¬takan kepadanya, “Ibunya.” Umar
berkata penuh keheranan, “Ibunya? Itu sungguh mengagumkan (tiga kali)!”
Umar kemudian berkata, “Apakah ada wanita lain yang melahirkan orang
seperti Khalid?”
Kedua, teks yang kami sebutkan di atas menegaskan
bahwa Khalid meninggal dan dikebumikan di Madinah. Ini merupakan
pen¬dapat sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, jumhur memandang bahwa
sebenarnya Khalid meninggal dan dikuburkan di Hamsh (Suriah). Pendapat
yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir di dalam
al-Bidayah wan-Nihayah. Sebab, menurut riwayat yang kuat, setelah
dipecat oleh Umar, Khalid melakukan ibadah umrah kemudian kembali ke
Syam dan menetap di Syam sampai meninggal pada tahun 21 Hijriah.
Demikianlah
sikap Umar yang selalu memuji Khalid, baik di waktu masih hidup maupun
sesudah kematiannya. Ibnu Katsir meriwa¬yatkan dari al-Wakidi bahwa
Umar pernah melihat rombongan haji datang dari Hamsh lalu ia bertanya,
“Adakah berita yang harus kami ketahui?” Mereka menjawab,”Ya, Khalid
telah wafat.” Umar kemudian mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un,’ lalu berkata, “Demi Allah, ia sangat mahir dan tepat menebas
tengkuk-tengkuk musuh. Ia adalah seorang tokoh yang tepercaya.”
Pujian
Umar kepada Khalid tersebut tidak bertentangan dengan sebagian sikap
yang bersifat ijtihadiah yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara
keduanya kemudian masing-masing dari keduanya bertindak sesuai
pandangan yang diyakininya.
Sebaiknya mereka yang menggugat kedudukan
Khalid karena sikap Umar terhadapnya atau orang-orang yang menggugat
kedudukan Umar karena sikap tersebut, mereka memahami permasalahan dari
segala seginya dan membedakan antara sikap ijtihadiah yang dijamin
mendapat pahala betapapun hasilnya dan penyimpangan pemikiran atau
perilaku yang tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, di antara hal paling menonjol
yang dapat dicatat oleh setiap orang yang memperhatikan Khalifah Umar
ialah kerja sama yang bersih dan istimewa antara Umar dan Ali
Radhiyallahu ‘anhum. Dalam khilafah Umar, Ali menjadi mustasyar awwal
(penasihat pertama) bagi Umar dalam semua persoalan dan problematika.
Setiap kali Ali mengusulkan suatu pendapat, Umar selalu melaksanakannya
dengan penuh kerelaan sehingga Umar pernah berkata, “Seandainya tidak
ada Ali, niscaya Umar celaka.”
Ali bin Abu Thalib dengan penuh
keikhlasan dan kecintaan memberikan nasihat kepadanya dalam segala
urusan dan persoalan. Seperti Anda ketahui bahwa Umar pernah meminta
pendapatnya tentang keinginannya untuk berangkat sendiri memimpin
pasukan guna memerangi orang-orang Persia, kemudian Ali menasihatinya
dengan suatu nasihat yang mencerminkan kecintaannya kepada Umar. Ali
menasihatinya supaya tidak berangkat, tetapi cukup dengan meng¬gerakkan
roda peperangan dengan orang-orang Arab yang ada di bawah
kekuasaannya. Diperingatkannya, jika ia berangkat, hal itu niscaya akan
menimbulkan berbagai peluang yang lebih berbahaya daripada musuh yang
akan dihadang-Nya itu sendiri.
Seandainya Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam telah menge¬mukakan bahwa khilafah sesudahnya harus
diserahkan kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, apakah mungkin Ali
Radhiyallahu ‘anhu akan berpaling dari perintah Rasulullah tersebut dan
mendukung orang-orang yang merampas haknya atau merampok kewajibannya
dalam memegang khilafah dengan dukungan kerja sama yang demikian ikhlas
dan konstruktif? Mungkinkah seluruh sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam mengabaikan perintah Rasulullah tersebut? Mungkinkah semua
sahabat itu telah bersepakat -terutama Ali- untuk tidak melak¬sanakan
perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?
Keempat,
sebagaimana khilafah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu datang pada saat yang
tepat, di mana tidak layak pada saat itu kecuali Abu Bakar, demikian
pula khilafah Umar. Beliau menjadi orang yang paling tepat untuk
memegang khilafah pada saat itu. Di antara hal yang paling mulia yang
pernah dilakukan Abu Bakar ialah mengokohkan kembali Islam sebagai
bangunan dan negara serta keyakinan di dalam jiwa, setelah terjadinya
keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal paling agung yang pernah dilakukan Umar ialah memperluas futuhat
Islamiyah ke ujung negeri-negeri Per¬sia, Syam, dan Maghrib (Maroko).
Membangun negeri-negeri Islam, membentuk berbagai diwan, dan mengokohkan
pilar-pilar negara Islam sebagai negara peradaban yang paling kuat di
permukaan bumi.
Ini menunjukkan sejauh mana hikmah Allah dalam
memelihara para hamba-Nya dan mewujudkan sarana kebaikan dan
kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Kelima,
kami mengatakan tentang cara pemilihan Khalifah Utsman sebagaimana yang
telah kami katakan tentang Khalifah Umar. Menunjuk seorang pengganti
dalam kekhalifahan (al-’ahdu bil-khalifah) merupakan proses yang
ditempuh untuk Khalifah Umar dan Utsman. Perbedaan antara keduanya
bahwa Abu Bakar menunjuk Umar secara langsung, sedangkan Umar menunjuk
seorang penggantinya di antara enam orang yang menjadi anggota Majelis
Syura kemudian menyerah¬kan pemilihannya kepada kaum Muslimin.
Seperti
telah Anda ketahui, pemilihan Utsman di antara enam orang yang
diajukan tersebut berlangsung dengan musyawarah dari keenam orang itu
sendiri, kemudian dengan musyawarah dan baiat kaum Muslimin atau Ahlul
Halli wal-’Aqdi. Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara
enam orang yang ditunjuk dan merupakan orang yang pertama membaiat
Utsman Radhiyallahu ‘anhu.
Dengan demikian, kita mengetahui secara
gamblang bahwa kaum Muslimin sampai periode ini masih merupakan satu
jamaah. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mempermasalahkan
urusan khilafah atau mempertanyakan siapakah orang yang paling berhak
memegangnya? Yang ada hanyalah proses musyawarah dan pembahasan dalam
setiap tuntutan untuk memilih khalifah secara syar’i dan sehat.
Apa
pun usaha yang Anda kerahkan, sesungguhnya Anda tidak akan dapat
menemukan, pada seluruh periode ini (khilafah Abu Bakar, Umar dan
Utsman), adanya perdebatan atau diskusi tentang al-Qur’an atau
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk ataukah tidak.
Anda pun tidak akan menemukan kritik atau tindakan menya¬lahkan cara
yang ditempuh dalam proses pengangkatan ketiga khalifah tersebut.
Lalu,
kapan dan atas dorongan apa terjadinya perpecahan yang telah memecah
belah jamaah Muslimin menjadi dua kubu yang ber¬tentangan karena
masalah khilafah, padahal selama tiga periode khilafah, mereka hidup
bersatu dan bekerjasama secara rapi?
Masalah ini akan kami sebutkan
tatkala membahas Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa beliau.
Sumber: Tarikhul Khulafa’ dan Al-Bidayah wan-Nihayah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar