BG dan Kuda Troya



oleh : Hendri

“Sangat indah kalau Budi Gunawan mundur sebagai Kapolri,” begitu kata Mensesneg Pratikno. Satu kalimat yang terdengar “bijak” yang semestinya disikapi secara bijak pula, tapi kenyataannya tidak begitu respon yang diberikan politisi PDIP dan Nasdem. Pernyataan Prayitno dianggap hanya menambah kegaduhan dan semakin memperkeruh suasana.
Jika dihayati dari sisi BG secara lebih mendalam, sikap para politisi PDIP dan Nasdem yang mengkritisi Prayitno dengan keras bisa jadi sangat beralasan. Apa yang telah terjadi dengan BG secara psikologis emosional memang tragis, dan (menurut saya) cukup berkelas untuk dikategorikan sebagai tragedi abad ini.
Saya ingin flashback pada legenda Perang Troya antara Troya dan Sparta. Saat itu, prajurit Sparta (Yunani) menghadapi kokohnya benteng pertahanan Kota Troya yang sudah selama sepuluh tahun dikepung tapi tidak ada tanda-tanda untuk jatuh.  Bahkan sebaliknya, pasukan Sparta yang terdesak dan berada di ambang kekalahan.
Ditengah rasa frustasi para prajurit Yunani itulah Odisseus lalu menemukan sebuah ide cemerlang dengan membangun sebuah kuda kayu raksasa yang diisi oleh prajurit-prajurit Yunani.
Ide ini merupakan sebuah tipu muslihat, dimana pasukan Yunani kemudian meninggalkan kuda itu lalu pura-pura pergi meninggalkan Troya. Pasukan Troya melihat pasukan Yunani mundur dan mengira mereka telah menyerah dan kuda raksasa itu sebagai pernyataan kekalahan dari yunani. Orang-orang Troya membawa kuda itu ke dalam kota lalu merayakan kemenangan mereka. Pada malam harinya, pasukan yunani yang dipimpin oleh Achilles dan Odysseus keluar dari kuda kayu lalu membuka pintu gerbang kota dan membiarkan prajurit-prajurit Yunani lainnya masuk untuk membantai pasukan Troya.
Selanjutnya legenda itu terus dikenang lewat simbol “Kuda Troya” dan tokoh- tokohnya (Achilles, Hector, Odisseus, Paris, Agamemnon, dll)  tetap diingat selama berabad-abad kemudian.
Lalu, apa kaitannya dengan kasus BG? Ada sedikit similarity jika peperangan antara kubu Jokowi dan Prabowo pada pilpres kemarin dianalogikan dengan Perang antara Troya dengan Sparta, sekedar untuk menggambarkan suasana kebatinan yang dirasakan BG.
BG, dalam peristiwa peperangan antara Jokowi dengan Prabowo pada pilpres, menjadi salah satu tokoh yang terlibat dan pada akhirnya tampil sebagai pihak yang ikut “berjasa” (terlepas dari apakah ada unsur tipu muslihat atau tidak) dalam kemenangan yang gilang gemilang bagi kubu Jokowi.
Tragedi bagi BG justru muncul saat kubu Jokowi masih berada dalam euforia kemenangan ini. Pada saat BG menjalani prosesi penganugerahan jabatan prestisius menjadi Kapolri sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, tiba-tiba KPK tampil menjadi “Kuda Troya” untuk menjatuhkan BG. Akibatnya, alih-alih menduduki jabatan Kapolri, BG malah terancam menjadi penghuni Penjara.
Strategi “Kuda Troya” untuk menjatuhkan BG ini bahkan terasa lebih menyakitkan dibandingkan legenda “Kuda Troya” yang membuat Kota Troya jatuh ke tangan prajurit Yunani dulu.
Kota Troya dijatuhkan dalam konteks peperangan, dengan musuh yang jelas (pasukan Yunani). Sementara BG dijatuhkan seusai perang yang turut dimenangkannya, dengan musuh yang tidak jelas yang tentu saja berasal dari pihaknya sendiri.
Sulit untuk mengilustrasikan dengan kata-kata tentang suasanan kebatinan yang dirasakan BG (kegundahan, kekecewaan, kemarahan, dll). Beragam pertanyaan akan bermunculan. Inikah harga yang dibayarkan sebagai hasil dari sebuah perjuangan? Seperti inikah cara untuk mengapresiasi sebuah pengorbanan? Adakah tempat yang lebih hina dari ini untuk membuang seseorang yang telah ikut berjasa?
BG memang berhadapan dengan sebuah ironi. Berangkat dari seorang yang layak diberi “penghormatan” menjadi pihak yang “dinistakan”. Dari seorang yang selayaknya “ditinggikan” menjadi pihak yang “direndahkan”. Dari seorang yang selayaknya menjadi “pahlawan” menjadi pihak yang “dikhianati”.
Tentu bukan hal yang berlebihan kalau saya katakan bahwa BG pasti di kondisi “sangat marah” dan secara refleks akan mencari siapa musuh-musuhnya, mencari siapa pengkhianat yang telah menodai nilai-nilai perjuangannya, lalu menghimpun semua kekuatan untuk melakukan perlawanan, untuk melakukan pembalasan.
Dan begitulah yang terjadi selanjutnya, potensi destruktif yang ditimbulkan sudah begitu terasa, seperti yang kita konsumsi dari dari media. Saat ini, semua komisioner KPK terancam berstatus “tersangka”, dan institusi KPK terancam lumpuh total.
Sangat mudah untuk memahami dari peristiwa-peristiwa yang terjadi bahwa konflik KPK-Polri ini murni berada di wilayah politik, bukan wilayah hukum, dengan potensi destruktif maksimal, dan sangat rentan untuk ditunggangi pihak-pihak yang diuntungkan dari situasi seperti ini.

Itulah sebabnya saya sangat setuju jika semua pihak dihimbau untuk menahan diri, sekedar untuk meminimalkan kerusakan, sambil menunggu keputusan Jokowi sepulang dari lawatannya ke luar negeri.
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))